Menilik Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Kemenyan dalam Upaya Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
LensaMedan - Kelompok Kerja Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara (Pokja Penurunan Emisi GRK) melakukan kunjungan lapangan ke Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Hulu, Kabupaten Tapanuli Utara, Jumat (9/5/2025).
Pokja Penurunan Emisi GRK dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur Sumut.
Kunjungan ini bertujuan untuk mendalami praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat adat sekaligus meninjau potensi implementasi kegiatan REDD+ berbasis komunitas.
Dalam kunjungan ini, Pokja didampingi tenaga ahli REDD+ Provinsi Sumatera Utara, Dr. Solichin Manuri dan Sarah Agustiorini, serta akademisi dari Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, yakni Prof. Rahmawaty, Ph. D dan Dr. Bejo Slamet, M.Si.
Kunjungan difasilitasi oleh Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI) sebagai lembaga perantara (lemtara) Program Result-Based Payment (RBP) REDD+ di Sumut.
Kepala Desa Simardangiang, Tampan Sitompul, menjelaskan bahwa desa seluas sekitar 6.000 hektare ini dikenal sebagai salah satu sentra penghasil getah haminjon (kemenyan) di wilayah Tapanuli.
Jenis kemenyan yang dibudidayakan masyarakat adalah Haminjon Toba dan Haminjon Gurame.
Kemenyan menjadi komoditas utama yang menopang ekonomi mayoritas penduduk—sekitar 99% dari 204 Kepala Keluarga (KK) di desa ini.
Masyarakat Simardangiang mempraktikkan sistem agroforestry, mengombinasikan pohon kemenyan dengan tanaman seperti petai, kakao, jengkol, dan durian.
Namun, selama dua tahun terakhir, durian tidak lagi berbuah, dan masyarakat belum menemukan penyebabnya.
Penyadapan kemenyan dilakukan berdasarkan kriteria tertentu. Jenis Haminjon Toba dipanen pada bulan Mei hingga Juli dan ditandai dengan adanya bunga, sementara Haminjon Gurame bisa dipanen sepanjang tahun dan dikenali dari kondisi daunnya.
“Satu KK bisa memiliki ribuan batang, dan satu pohon menghasilkan sekitar setengah kilogram getah per tahun,” jelas Tampan Sitompul.
Dijelaskannya, getah dijual langsung di desa kepada para pengepul (toke) dengan harga fluktuatif, saat ini sekitar Rp60.000/kg untuk kualitas nomor tiga.
Desa Simardangiang telah memperoleh pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) melalui SK dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Agustus 2024, setelah sebelumnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah oleh Bupati.
Proses ini didampingi oleh organisasi Gerakan Jaga Indonesia (GJI).
Saat ini, satu kelompok MHA tengah menyiapkan pembentukan Kelompok Tani Hutan untuk mengelola area seluas 2.917 hektare.
Terpisah, Direktur PETAI, Masrizal Saraan, menjelaskan, kunjungan lapangan Pokja Penurunan Emisi GRK ini menjadi langkah awal dalam memperkuat integrasi pengetahuan lokal dengan pendekatan ilmiah.
“Tentunya dalam upaya menurunkan emisi berbasis lahan secara partisipatif dan berkelanjutan di Sumatera Utara,” pungkasnya. (*)
(Tapanuli Utara)
Belum ada Komentar untuk "Menilik Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Kemenyan dalam Upaya Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca "
Posting Komentar